1. MARK UP SUKHOI UNTUK ALUTISTA
Indonesian Corruption Watch (ICW) menemukan kejanggalan, ketidakwajaran dan kemahalan dalam mekanisme pembelian pesawat Sukhoi. Peremajaan dan pembaruan alutista itu diperkirakan merugikan negara sebesar US$ 78 Juta. Demikian disampaikan ICW pada konferensi pers yang digelar di kantor Imparsial, Jl Slamet Riyadi Raya No 19, Matraman Jakarta Timur, Senin (5/3/2012). (Foto: detikFoto/Rachman Haryanto)
5 Maret 2012, Jakarta: Adanya dugaan mark up pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 memunculkan banyak kecurigaan berbagai pihak. Pengamat pertahanan Muradi ikut urun pendapat tentang adanya kejanggalan dari pembelian alat utama sistem senjata (Alutsista) TNI AU tersebut.
Dihubungi itoday via telepon, Senin (5/3), Muradi mengatakan, ada tiga kemungkinan yang bisa dilihat dari kasus pembelian Sukhoi tersebut. Pertama, pemerintah dan TNI tidak membeli dari tangan pertama. Kedua, memang ada mark up dari internal TNI sendiri dan Ketiga ada perbedaan harga tersebut, karena adanya fluktuasi harga dollar.
Dari ketiga kemungkinan tersebut, kemungkinan kedua karena adanya mark up adalah kemungkinan terbesar yang dapat terjadi.
“Saya melihatnya kasus Sukhoi ini lebih disebabkan dari kemungkinan nomor dua,” jelas Dosen yang mengajar di Fisip Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung ini.
Muradi juga menilai, masalah mark up ini karena adanya kemungkinan keterlibatan calo internal. Entah itu di internal pemerintah (Kemhan) atau di internal TNI. Sebab, pasca di embargo oleh Amerika Serikat (AS), pemerintah dan TNI kesulitan mengadakan persenjataan dari luar negeri yang kebanyakan menggunakan jasa calo eksternal.
“Sejak Indonesia di embargo, pemerintah dan TNI kesulitan mengadakan persenjataan dari luar, dan itu juga mengubah pola pembelian Alutsista, yang dulunya selalu menggunakan jasa calo, beralih menjadi pendekatan G to G, sehingga jasa calo di luaran jelas mati,” paparnya.
Sialnya, selama ini TNI dan pemerintah memang selalu agak tertutup jika terkait dengan masalah pendanaan pembelian Alutsista ke publik. Sehingga ketika ada masalah seperti ini, maka publik langsung menilai ada mark up dalam proses pengadaan tersebut. Apalagi ditambah adanya praktek percaloan di kalangan internal pemerintah dan TNI.
“Calo atau broker internal jelas tidak kerja sendiri, ditambah lagi TNI belum bisa terbuka dalam banyak hal, justru memperkuat kemungkinan adanya mark up,” tegasnya.
Ini Dia Kejanggalan Pembelian Sukhoi Indonesia
Ribut masalah adanya kemungkinan mark up atas pembelian enam pesawat tempur Sukhoi Su-30 MK2 dari Rusia, turut mengundang Direktur Program Imparsial Al Araf untuk menyatakan pendapatnya.
Al Araf melihat terdapat indikasi permainan dalam proses pengadaan atau pembelian Sukhoi, khususnya terkait dengan kemahalan, ketidakwajaran dan kejanggalan harga pesawat yang tidak kecil jumlahnya itu.
"Pertama, mengapa pemerintah Indonesia (Kementerian Pertahanan) lebih memilih untuk menggunakan skema pembelian Sukhoi dengan sumber dana pinjaman luar negeri/kredit komersial, tidak menggunakan fasilitas state loan yang telah disediakan pemerintah federasi Rusia sebesar US$1 miliar?," kata Araf dalam jumpa pers di Kantor Imparsial, Jakarta, Senin (5/3).
Selain itu, Imparsial juga mempertanyakan kenapa harga pembelian Sukhoi bisa mencapai US$470 juta hingga US$500 juta untuk enam buah pesawat. Sedangkan pada pengadaan tahun 2010, nilai pembelian Sukhoi dari produsen yang sama hanya berkisar US$55 juta.
"Jika harga kesepakatan adalah US$500 juta untuk enam Sukhoi, ini artinya harga persatuan Sukhoi adalah US$83 juta," jelas Al Araf.
Selain itu, terdapat kejanggalan pemerintah dalam pembelian enam pesawat tersebut yang menggunakan pihak ketiga. "Mengapa dalam pembelian enam Sukhoi terbaru, masih ada keterlibatan pihak ketiga/agen yang sebenarnya keluar dari semangat untuk melakukan proses pembelian/pengadaan alutsista melalui G to G?," kata dia.
Untuk diketahui, pemerintah telah menandatangani kontrak pembelian pesawat tempur Sukhoi 30MK2 sebanyak enam unit dari pemerintah Federasi Rusia sebagai bagian dari rencana pembentukan satu skuadron Sukhoi yang berbasis di pangkalan udara Hasanuddin, Makassar.
Sebelumnya, Indonesia telah memiliki sepuluh unit Sukhoi yang terdiri dari dua unit jenis SU-27SK, tiga unit jenis Su-27SKM dan dua unit jenis Su-30MK.
Pengadaan Sukhoi di atas adalah bagian dari upaya memodernisasi alutsista untuk periode 2010-2014 yang diperkirakan menelan anggaran hingga Rp149,78 triliun.Rinciannya, untuk pengadaan alutsista sebesar Rp87,32 triliun, perawatan/pemeliharaan alutsista Rp62,46 triliun, untuk tahun 2010 dialokasikan Rp23,10 triliun, tahun 2011 Rp32,29 triliun, tahun 2012 Rp29,66 triliun, tahun 2013 sebesar Rp32,58 triliun dan tahun 2014 sebesar Rp32,15 triliun.
HARGA YANG LEBIH MAHAL DI BANDING PESAWAT VIETNAM
Pembelian enam unit pesawat tempur Sukhoi 30 MK-2 oleh pemerintah RI diduga digelembungkan (mark up) karena harganya lebih mahal dibanding pembelian jenis yang sama oleh pemerintah Vietnam.
Vietnam membeli dengan harga US 53 juta per unit lengkap dengan senjata dan Indonesia membayar US 78,3 juta belum dengan senjata.
Direktur Eksekutif Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane yang mengawasi pembelian senjata polisi dan TNI, Minggu (4/3/2012), menjelaskan, Vietnam membeli dengan harga US$ 53 juta per unit dan Indonesia membayar US$ 78,3 juta per unit.
"Vietnam membeli sudah lengkap dengan senjata. Kita membeli lebih mahal dan tanpa senjata. KPK segera mengaudit pembelian senjata ini," Neta menegaskan.
Dia menerangkan, kejanggalan lain dalam pembelian itu dilakukan antara pemerintah RI dan Rusia (G to G). Tetapi faktanya ada pihak yang menjadi supplier. Neta menandaskan, keanehan-keanehan dalam pembelian Sukhoi tersebut berpotensi terjadi mark up sebesar US$ 100 Juta sampai US$ 140 Juta (Rp900 miliar sampai Rp 1,2 trilun).
Untuk itu IPW mendesak KPK segera menurunkan Tim Pencegahan dan Tim Investigasi dalam proyek Sukhoi agar potensi korupsi dapat dicegah. Perhatian KPK terhdap proyek Sukhoi sangat diperlukan agar ke depan proyek-proyek alutsista dapat diawasi dengan ketat.
Untuk tahun 2011-2014 pengadaan alutsista TNI mndapat kredit komersial sebesar US$ 695 juta US dan State Credit dari Rusia sbesar 362,3 juta US dolar.
sumber : KOMPAS
2. KENAIKAN BBM
JAKARTA, SENIN - Rapat Terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Senin (5/5) sore, akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi secara terbatas atau masih dalam rentang jangkauan masyarakat dan pelaku usaha.
Kebijakan pemerintah ini, selain akan diikuti dengan penghematan secara total konsumsi BBM dengan berbagai langkah, juga akan disertai dengan pemberian kompensasi yang cukup besar, khususnya bagi masyarakat bergolongan ekonomi lemah.
Namun, berapa persentase kenaikan dan tanggal kepastian waktu pemberlakuan kenaikan harga BBM tersebut, Menko Perekonomian Boediono, yang ditanya dalam keterangan pers, seusai mengikuti ratas di Kantor Presiden, Kompleks Istana, Jakarta, hanya mengatakan masih dihitung secara rinci dan pada waktunya akan segera diumumkan.
Soal besaran kenaikan harga BBM, pemerintah masih melakukan perhitungan dan menyelesaikan persoalan teknisnya. Akan tetapi, besarannya masih dalam jangkauan yang bisa ditanggung masyarakat. Apalagi dibarengi dengan pemberian kompensasi. "Kalau waktu pengumuman kenaikan harga BBM, pemerintah masih mempersiapkan. Tunggu beberapa minggu ke depan," tandas Boediono.
Akan tetapi, informasi yang diterima Kompas, Senin malam ini, besaran kenaikan yang tengah dihitung pemerintah maksimal kenaikan rata-rata BBM sebesar 30 persen, dengan perkiraan pengurangan anggaran subsidi mencapai Rp 30 triliun. Kenaikan harga BBM itu disebut-sebut paling lambat diputuskan pada 1 Juni mendatang.
"Melihat situasi yang kita hadapi sekarang ini, dari keadaan di luar maupun situasi di dalam negeri, maka kita saat ini tengah menyiapkan suatu langkah kebijakan dengan tujuan untuk mengamankan APBN tahun 2008 maupun 2009. Dengan fokus pada masalah subsidi BBM dan listrik, ini kita lakukan dalam satu paket, yang terdiri dari tiga elemen yang satu sama lainnya saling terkait," ujar Boediono.
Ratas dihadiri juga oleh Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dan sejumlah menteri ekonomi di antaranya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta.
Defisit di bawah 2 persen
Di tempat yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, besaran kenaikan harga BBM yang diputuskan pemerintah ditetapkan pada kisaran yang masih ditanggung oleh masyarakat dan pelaku ekonomi.
"Yang penting adalah sinyal kita kepada seluruh pelaku ekonomi bahwa kenaikan ini masih di dalam kisaran yang masih bisa diserap dan ditanggung masyarakat dan pelaku ekonomi. Selain itu, diharapkan juga bisa menimbulkan kepercayaan dan menghilangkan ketidakpastian bagi para pelaku ekonomi," tandas Sri Mulyani.
Menurut Sri Mulyani, keputusan pemerintah menaikkan harga BBM ini hendaknya bisa dipahami oleh masyarakat mengingat kecenderungan kenaikan harga BBM ini juga terjadi di negara lainnya di dunia.
Kenaikan BBM Bakal Turunkan Pertumbuhan Industri 0,26%
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 33 persen dan tarif dasar listrik (TDL) 10 persen akan menyebabkan output sektor industri pengolahan nonmigas mengalami penurunan sekira 0,26 persen.
Dirjen Pengembangan Perwilayahan Industri Kemenperin Dedi Mulyadi mengatakan, untuk menemukan seberapa besar dampak kenaikan harga BBM dan TDL terhadap kinerja industri, pihaknya menggunakan metodecomputable general equilibrium (CGE).
Adapun model CGE yang digunakan, kata dia, adalahcomparative static. CGE, lanjutnya, juga digunakan untuk mengkaji seberapa besar dampak kenaikan harga BBM dan TDL terhadap kinerja ekonomi makro Indonesia.
Dia menyebutkan, dalam kajian tersebut dilakukan lima simulasi kebijakan yakni kenaikan harga BBM khususnya premium sebesar Rp1.500 atau 33 persen dari harga awal Rp4.500 menjadi Rp6.000, kenaikan harga BBM khususnya premium sebesar Rp2.000 atau 44 persen dari harga awal Rp4.500 menjadi Rp6.500, kenaikan TDL sebesar 10 persen, kombinasi kenaikan harga BBM sebesar 33 persen dan TDL 10 persen, serta kombinasi kenaikan harga BBM sebesar 44 persen dengan TDL 10 persen.
"CGE adalah analisa yang dasarnya adalah Tabel Input-Output (IO) dari 2008 yang di-update dari 2005. Dari asumsi ini, hasilnya apabila harga BBM nasik 33 persen maka industri akan turun 0,12 persen. Apabila harga BBM naik 44 persen, industri akan turun 0,14 persen. Dan TDL naik 10 persen maka industri akan turun 0,14 persen," kata Dedi di Jakarta, Rabu (7/3/2012).
Kajian tersebut, kata dia, dilakukan pada sembilan sektor industri yakni makanan, minuman dan tembakau, tekstil, barang kulit dan alas kaki, barang kayu dan hasil hutan lainnya, kertas dan barang cetakan, pupuk, kimia dan barang dari karet, semen dan barang galian bukan logam, logam dasar besi dan baja, alat angkut, mesin dan peralatannya, serta barang lainnya.
Dari sembilan sektor tersebut, lanjutnya, makanan, minuman dan tembakau tetap bertumbuh positif yakni 0,13 persen apabila harga BBM naik 33 persen dan 0,14 persen apabila TDL naik 10 persen.
"Sektor makanan tidak terpengaruh. Ini sektor yang tidak rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi," ucapnya.
Pasalnya, menurutnya, sektor tersebut mampu menguasai pasar dalam negeri, bahan bakunya terdapat di dalam negeri, serta memiliki peranan cukup tinggi terhadap pertumbuhan industri nasional dengan share sebesar 35,20 persen.
"Industri makanan pasarnya domestik, bahan baku ada di dalam negeri. Ini satu kondisi yang cukup menggembirakan. Industri ini yang di mana peranannya tinggi sekali 33 persen terhadap struktur industri. Yang tersirat dari angka pertumbuhan bahwa dia tidak rentan," paparnya.
SUMBER : OKEZONE
3. MASALAH APBNP
JAKARTA - Rapat kerja Komisi III DPR dengan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) hanya dihadiri tiga anggota sekaligus ketua rapat, Ketua Komisi III DPR Benny K Harman.
"Yang kami hormati Bapak Anggota Komisi III DPR kali ini yang hadir cuma tiga orang, kalau bisa disiarkan langsung supaya masyarakat dapat melihat," kata Benny saat membuka rapat kerja Komisi III DPR dengan PPATK dan BNPT di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2012).
Rapat kerja APBNP ini dijadwalkan pada pukul 19.30 WIB. Namun baru dimulai pukul 20.00 WIB. Sementara Ketua PPATK M Yusuf telah hadir sejak pukul 19.00 WIB.
Pantauan okezone, di ruang rapat Komisi III DPR, hanya tiga anggota yang hadir antara lain; Otong Abdurrahman (FPKB), Dasrul Jabbar (FPD), dan Paskalis Kossay (Fraksi Golkar). Kursi ruang rapat Komisi III yang tersedia untuk anggota kosong.
Rapat ini mengagendakan pembahasan anggaran BNPT dan PPATK. Rapat ini digelar secara meraton oleh Komisi III dengan dengan Kejagung, Kapolri yang digelar sejak siang hari tadi. Rapat pembahasan APBNP 2012 ini digelar disebabkan ada rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sebentar lagi digulirkan oleh pemerintah.
"Rapat dengan rapat Kepala PPATK dan Kepala BNPT dan jajarannya yang kami hormati mengenai anggaran," ujar Benny saat membuka rapat.
Meski hanya dihadiri 4 anggota, Benny menuturkan rapat ini sah. Meskipun kata dia, rangkaian rapat dari pagi itu telah ada 24 anggota yang menanda tangani daftar hadir rapat.
"Dari pagi ada 24 anggota yang mengisi daftar hadir dari 7 fraksi minus Hanura dan Gerindra, maka rapat ini dilanjutkan walaupun hanya dihadiri oleh 4 orang," jelasnya.
Menurut anggota Fraksi PKB kepada okezone, rapat ini tidak banyak dihadiri anggota karena agendanya tidak begitu menarik. Apalagi rapat itu hanya membahas anggaran dengan PPATK dan BNPT.
"Rapatnya enggak menarik, jadi sedikit yang hadir," kata dia.
Sebelumnya, rapat Komisi III dengan Kejagung dan Polri siang tadi juga molor masing-masing satu jam. Rapat dengan Kapolri bahkan hanya dihadiri 6 anggota Komisi III DPR.
DPR Nilai PPATK Belum Perlu Kewenangan Eksekusi
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Nasir Djamil menilai belum perlu untuk merevisi Undang-Undang tentang Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurutnya, PPATK belum perlu diberi kewenangan eksekusi lantaran laporan hasil analisis (LHA) lambat ditanggapi oleh lembaga penegak hukum. Dalam hemat politikus PKS itu saat ini yang dibutuhkan adalah memaksimalkan koordinasi penanggulangan tindak pidana pencucian uang.
"Untuk saat ini, revisi UU tersebut tidak diperlukan. Yang perlu dimaksimalkan adalah komite koordinasi penanggulangan tindak pidana pencucian uang. Koordinasi tidak harus diatur dalam UU," ujar Nasir saat dihubungi wartawan, Kamis (1/3/2012).
Pihaknya menegaskan menolak memberikan kewenangan eksekusi saat revisi UU tindak pencucian uang. Meskipun pihak kepolisian dan kejaksaan lambat menanganinya.
"Saat revisi Undang-Undang Tindak pencucian uang , DPR dan pemerintah belum mau memberikan kewenangan eksekusi kepada PPATK jika polisi dan jaksa lambat menangani laporan PPATK tentang rekening yang mencurigakan," kata dia.
sumber : OKEZONE
4. konflik agraria
Pansus Konflik Agraria Perjuangkan Hak-Hak Rakyat
Panitia Khusus (Pansus) Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam (SDA) yang dibentuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan memperjuangkan hak-hak rakyat yang kerap tereliminasi dalam pesatnya industri di Indonesia. DPD berjanji akan mengembalikan hak-hak rakyat sesuai dengan prinsip keseimbangan dan win-win solution.
"Konflik agraria merupakan masalah fudamental dalam demokrasi. Kita lihat hak-hak rakyat harus dikembalikan kepada rakyat," kata Ketua DPD RI Irman Gusman, di Pekanbaru, Senin (12/3).
Menurut Irman, Pansus Konflik Agraria bekerja untuk mengembalikan hak-hak rakyat yang selama ini tidak terakomodasi sehingga mengakibatkan pecahnya konflik lahan dan sumber daya alam di berbagai daerah. Ke depan, hak-hak rakyat atas tanah dan sumber daya alam harus dikembalikan ke rakyat untuk kesejahteraan rakyat.
"Konflik Mesuji, dan Bima terjadi karena hak-hak rakyat tidak dikembalikan kepada rakyat. Kita tak ingin hal seperti itu terulang kembali," ujarnya.
Sejauh ini, lanjutnya, DPD RI sudah memelopori penyelesaian sejumlah konflik agraria termasuk seperti yang terjadi di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Dalam kasus Pulau Padang, DPD RI berperan dalam mediasi untuk meminta pengembalian hak rakyat dari perusahaan.
"Kita ini tidak antipengusaha sebab pengusaha itu merupakan sahabat pembangunan. Namun bagaimana pun hak-hak rakyat harus tetap dikembalikan," elasticity.
Konflik Agraria AKibat Pemilik Modal Abaikan Penggunaan dan Tata Ruang
Konflik agraria seringkali terjadi saat pengelolaan lahan dialihkan kepada pemilik modal yang mengesampingkan penggunaan lahan dan tata ruang. Desakan mengenai perlunya reformasi agraria lahir karena peralihan masif lahan pertanian kepada non pertanian yang memprihatinkan selama ini.
Hal itu dikatakan Anggota Komisi IV F-PKS Rofi' Munawar dalam pernyataannya ke "PRLM", Senin (16/1/12). “Reformasi agraria untuk mendorong pencetakan sawah harus terus dilakukan mengingat desakan ketersediaan pangan dan ancaman krisis pangan mengintai sepanjang tahun. Penyelesaian konflik agraria seringkali hanya selesai di status kepemilikan, bukan pada subtansi penggunaan lahan tersebut. Sehingga seringkali terlampau berlarut-larut dan menghambat peningkatan fungsi kelola lahan,” katanya.
Selama ini lahan-lahan yang disengketakan atau tidak dimanfaatkan dibiarkan dalam ketidakjelasan. Jika pun dikelola seringkali menyimpan konflik, karena pengelolaan lahan tersebut mengesampingkan kepentingan umum, fungsi utama lahan, dan keberlanjutan lahan tersebut. “Lahan pertanian tetap untuk pertanian, sedangkan lahan yang terlantar secara progresif dijadikan lahan pertanian sebelum untuk peruntukan lain. ” tegas Rofi'.
Merujuk kepada UU 41 Tahun 2009 pasal 29 tentang perlindungan lahan pertanian pangan, menurut Rofi, secara jelas telah diatur mengenai penggunaan lahan terlantar untuk dimanfaatkan menjadi lahan pertanian.
"UU tersebut menyatakan tanah telantar dapat dialihfungsikan saat tanah tersebut telah diberikan hak atas tanahnya, tetap sebagian atau seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian hak. Kemudian tanah telantar tersebut selama tiga tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak tanggal pemberian hak diterbitkan," katanya.
5. MASALAH SOSIAL YANG ADA DI MASYARAKAT
Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.
Masalah sosial di Indonesia terjadi seperti lingkaran setan, Pemerintah telah membuat peraturantentangakan memberi denda pada orang yang bersedekah pada pengemis, dan pemerintah juga sibuk dengan kebijakan-kebijakan yang telah dan akan dibuat yang berkaitan dengan masalah sosial yang terjadi di Indonesia seperti PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Masalah sosial yang sangat terasa di saat sekarang ini adalah realita kemiskinan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Kita semua menyadari bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial di Indonesia yang tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih banyak kita temui permukiman masyarakat miskin hamper di setiap sudut kota.Keluhan yang paling sering disampaikan mengenai pemukiman masayarakat miskin tersebut adalah rendahnya kualitas lingkungan yang dianggap sebagai bagian kota yang mesti disingkirkan.
MACAM - MACAM MASALAH SOSIAL YANG ADA di INDONESIA :
- Masalah Sosial Kemiskinan :
Tulisan ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang latar belakang terjadinya kemisikinan di Indonesia secara umum dan kota Jakarta secara khususnya, dan upaya untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus pula untuk meningkatkan kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin.
Pendekatan konvensional yang paling popular dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah menggusur pemukiman kumuh dan kemudian diganti oleh kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi tersebut. Menggusur secara paksa adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak akan pernah berkurang. Bagi orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi pemukimannya yang baru dan penggusuran secara paksa bahkan sampai dengan adanya unsure anarkisme itu adalah melanggar hak asasi manusia yang paling hakiki dan harus dihormati bersama.
Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun 1950 dan 1960-an.2Pada saat itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di pusat kota digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik. Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik tetapi sarat dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti kemiskinan perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas. Menyadari kesalahan yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kota-kota di Amerika Serikat lebih banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan tidak lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau diIndonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di Jakarta yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan sembari menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat ditemui di Indonesia’s Urban Studies, masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara dan masyarakat kampung Toplang di Jakarta Barat mereka mengelola sampah untuk dijadikan kompos dan memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program Lingkungan Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps Indonesia. Masyarakat miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak intervensi dari Mercy Corps Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan kumuh di Penjaringan. Masyarakat di Penjaringan sangat antusias untuk melakukan kegiatan ini dan mereka yakin untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungannya.
Cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran hanyalah menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan pelik. Penggusuran atau sering diistilahkan sebagai peremajaan kota adalah cara yang tidak berkelanjutan dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau3seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan. Masyarakat miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah pemberdayaan masyarakat miskin dan bukanlah penggusuran.
Lain lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi masyarakat Flores kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam berbagai aspek dan bentuk kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan yang pelik dan serius. Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya dan menemukan solusi pengentasannya bagai mengurai benang kusut yang sangat rumit untuk diselesaikan.
Secara alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan keadaan geografis Flores yang tergolong rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar belakang ini, sebetulnya keadaan sosial-ekonomi masyarakat Flores sudah bisa diukur. Hampir sebagian besar masyarakat Flores bertani secara musiman, dan amat tergantung pada hasil pertanian jangka panjang. Sementara yang menetap di pesisir pantai menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini dapat diukur kemampuan ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita sangat rendah dan masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan kemiskinan Flores dari latar belakang geografis dan juga topografis masih terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk mengelak dari keadaan yang demikian, separuh kaum muda baik laki-laki maupun perempuan. 2. Masalah Solsial Pengangguran :
Pengangguran dan Pengertiannya
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
saya mencoba untuk mengangkat masalah pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbas dari krisis ekonomi sejak tahun 1997 . Apa itu pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak dapat bekerja, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai macam tipe pengangguran, misalnya pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak. Ledakan Pengangguran Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat. Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN, Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan. Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa, dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya akan berakibat capital outflow. Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa menghantui masyarakat kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti mendapatkan harga diri.Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun bukan pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena perusahaannya bangkrut. Padahal di masyarakat, jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu kelompok tertentu yang masih erat hubungannya dengan para pentolan Orba. Ada juga yang menyertakan diri menjadi anggota laskar jihad yang dikirim ke
Ambon dengan dalih membela agama. Padahal di sana mereka cuma jadi perusuh yang doyan menjarah, memperkosa, dan membunuh orang-orang Maluku yang tidak berdosa. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak ingin berlanjut terus. Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahamidan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang munculsecara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Masalah Pengangguran dan Inflasi Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47 persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.
Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini
tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM per 15 Juni 2001, menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM. Tingginya angka inflasi selanjutnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak, rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan berkurang maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan. Hal inilah yang akan mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja/buruhnya dengan mem-PHK para buruh. Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah menstabilkan rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung kepada money suplly dari IMF, tetapi juga investor asing (global investment society)mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah maka pengendalian laju inflasi adalah penting dalam rangka mengendalikan penangguran.
Dalam indikator ekonomi makro ada tiga hal terutama yang menjadi pokok
permasalahan ekonomi makro. Pertama adalah masalah pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat dikategorikan baik jika angka pertumbuhan positif
dan bukannya negatif. Kedua adalah masalah inflasi. Inflasi adalah indikator
pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan
juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi mencerminkan stabilitas
harga, semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Namun masalah inflasi tidak hanya berkaitan dengan melonjaknya harga suatu barang dan jasa. Inflasi juga sangat berkaitan dengan purchasing power atau daya beli dari masyarakat. Sedangkan daya beli masyarakat sangat bergantung kepada upah riil. Inflasi sebenarnya tidak terlalu bermasalah jika kenaikan harga dibarengi dengan kenaikan upah riil. Masalah ketiga adalah pengangguran. Memang masalah pengangguran telah menjadi momok yang begitu menakutkan khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Negara berkembang seringkali dihadapkan dengan besarnya angka pengangguran karena sempitnya lapangan pekerjaan dan besarnya jumlah penduduk. Sempitnya lapangan pekerjaan dikarenakan karena faktor kelangkaan modal untuk berinvestasi. Masalah pengangguran itu sendiri tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang namun juga dialami oleh negara-negara maju. Namun masalah pengangguran di negara-negara maju jauh lebih mudah terselesaikan daripada di negara-negara berkembang karena hanya berkaitan dengan pasang surutnya business cycle dan bukannya karena faktor kelangkaan investasi, masalah ledakan penduduk, ataupun masalah sosial politik di negara tersebut. Melalui artikel inilah
saya mencoba untuk mengangkat masalah pengangguran dengan segala dampaknya di Indonesia yang menurut pengamatan saya sudah semakin memprihatinkan terutama ketika negara kita terkena imbas dari krisis ekonomi sejak tahun 1997 . Apa itu pengangguran? Pengangguran adalah suatu kondisi di mana orang tidak dapat bekerja, karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Ada berbagai macam tipe pengangguran, misalnya pengangguran teknologis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Tingginya angka pengangguran, masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan berbagai permasalahan lainnya di negara kita menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf hidup para penduduk di negara kita. Namun yang menjadi manifestasi utama sekaligus faktor penyebab rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah terbatasnya penyerapan sumber daya, termasuk sumber daya manusia. Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, pemanfaatan sumber daya yang dilakukan oleh negara-negara berkembang relatif lebih rendah daripada yang dilakukan di negara-negara maju karena buruknya efisiensi dan efektivitas dari penggunaan sumber daya baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Dua penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia adalah karena tingkat pengangguran penuh dan tingkat pengangguran terselubung yang terlalu tinggi dan terus melonjak. Pengangguran penuh atau terbuka yakni terdiri dari orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sama sekali. Berdasarkan data dari Depnaker pada tahun 1997 jumlah pengangguran terbuka saja sudah mencapai sekitar 10% dari sekitar 90 juta angkatan kerja yang ada di Indonesia, dan jumlah inipun belum mencakup
pengangguran terselubung. Jika persentase pengangguran total dengan melibatkan jumlah pengangguran terselubung dan terbuka hendak dilihat angkanya, maka angkanya sudah mencapai 40% dari 90 juta angkatan kerja yang berarti jumlah penganggur mencapai sekitar 36 juta orang. Adapun pengangguran terselubung adalah orang-orang yang menganggur karena bekerja di bawah kapasitas optimalnya. Para penganggur terselubung ini adalah orang-orang yang bekerja di bawah 35 jam dalam satu minggunya. Jika kita berasumsi bahwa krisis ekonomi hingga saat ini belum juga bisa terselesaikan maka angka-angka tadi dipastikan akan lebih melonjak. Ledakan Pengangguran Akibat krisis finansial yang memporak-porandakan perkonomian nasional, banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank atau hutang ke rekan bisnis. Begitu banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan di mana tempat ia bekerja dalam rangka pengurangan besarnya cost yang dipakai untuk membayar gaji para pekerjanya. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif singkat. Awal ledakan pengangguran sebenarnya bisa diketahui sejak sekitar tahun 1997 akhir atau 1998 awal. Ketika terjadi krisis moneter yang hebat melanda Asia khususnya Asia Tenggara mendorong terciptanya likuiditas ketat sebagai reaksi terhadap gejolak moneter. Di Indonesia, kebijakan likuidasi atas 16 bank akhir November 1997 saja sudah bisa membuat sekitar 8000 karyawannya menganggur. Dan dalam selang waktu yang tidak relatif lama, 7.196 pekerja dari 10 perusahaan sudah di PHK dari pabrik-pabrik mereka di Jawa Barat, Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Selatan berdasarkan data pada akhir Desember 1997. Ledakan pengangguranpun berlanjut di tahun 1998, di mana sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru akan terjadi. Dengan perekonomian yang hanya tumbuh sekitar 3,5 sampai 4%, maka tenaga kerja yang bisa diserap sekitar 1,3 juta orang dari tambahan angkatan kerja sekitar 2,7 juta orang. Sisanya menjadi tambahan pengangguran terbuka tadi. Total pengangguran jadinya akan melampaui 10 juta orang. Berdasarkan pengalaman, jika kita mengacu pada data-data pada tahun 1996 maka pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5 sampai 4% belumlah memadai, seharusnya pertumbuhan ekonomi yang ideal bagi negara berkembang macam Indonesia adalah di atas 6%. Berdasarkan data sepanjang di tahun 1996, perekonomian hanya mampu menyerap 85,7 juta orang dari jumlah angkatan kerja 90,1 juta orang. Tahun 1996 perekonomian mampu menyerap jumlah tenaga kerja dalam jumlah relatif besar karena ekonomi nasional tumbuh hingga 7,98 persen. Tahun 1997 dan 1998, pertumbuhan ekonomi dapat dipastikan tidak secerah tahun 1996. Pada tahun 1998 krisis ekonomi bertambah parah karena banyak wilayah Indonesia yang diterpa musim kering, inflasi yang terjadi di banyak daerah, krisis moneter di dalam negeri maupun di negara-negara mitra dagang seperti sesama ASEAN, Korsel dan Jepang akan sangat berpengaruh. Jika kita masih berpatokan dengan asumsi keadaan di atas, maka ledakan pengangguran diperkirakan akan berlangsung terus sepanjang tahun-tahun ke depan. Memang ketika kita menginjak tahun 2000, jumlah pengangguran di tahun 2000 ini sudah menurun dibanding tahun 1999. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang meningkat menjadi 4,8 persen. Pengangguran tahun 1999 yang semula 6,01 juga turun menjadi 5,87 juta orang. Sedang setengah pengangguran atau pengangguran terselubung juga menurun dari 31,7 juta menjadi 30,1 juta orang pada tahun 2000. Jumlah pengangguran saat ini mencapat sekitar 35,97 juta orang, namun pemerintah masih memfokuskan penanggulangan pengangguran ini pada 16,48 juta orang. Jumlah pengangguran saat ini yaitu pada tahu 2001 mencapai 35,97 juta orang yang diperkirakan bisa bertambah bila pemulihan ekonomi tidak segera berjalan dengan baik. Karena hal inilah maka pemerintah perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mencari investor asing guna menanamkan modalnya di sini sehingga lapangan pekerjaan baru dapat tercipta untuk dapat menyerap sebanyak mungkin tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan maka pada saat ini perekonomian negara kita memerlukan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen, meski idealnya diatas 6 persen, sehingga bisa menampung paling tidak 2,4 juta angkatan kerja baru. Sebab dari satu persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap sektiar 400 ribu angkatan kerja. Ini juga ditambah dengan peluang kerja di luar negeri yang rata-rata bisa menampung 500 ribu angkatan kerja setiap tahunnya. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang pesat maka mau tidak mau negara kita terpaksa harus menarik investasi asing karena sangatlah sulit untuk mengharapkan banyak dari investasi dalam negeri mengingat justru di dalam negeri para pengusaha besar banyak yang berhutang ke luar negeri. Hal ini bertambah parah karena hutang para pengusaha (sektor swasta) dan pemerintah dalam bentuk dolar. Sementara pada saat ini nilai tukar rupiah begitu rendah (undervalue) terhadap dolar. Namun menarik para investor asingpun bukan merupakan pekerjaan yang mudah jika kita berkaca pada situasi dan kondisi sekarang ini. Suhu politik yang semakin memanas, kerawanan sosial, teror bom, faktor desintegrasi bangsa, dan berbagai masalah lainnya akan membuat para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Karena itulah maka situasi dan kondisi yang kondusif haruslah diupayakan dan dipertahankan guna menarik investor asing masuk kemari dan menjaga agar para investor asing yang sudah menanamkan modalnya asing tidak lagi menarik modalnya ke luar yang nantinya akan berakibat capital outflow. Masalah Pengangguran dan Krisis Sosial Jika masalah pengangguran yang demikian pelik dibiarkan berlarut-larut maka sangat besar kemungkinannya untuk mendorong suatu krisis sosial. Suatu krisis sosial ditandai dengan meningkatnya angka kriminalitas, tingginya angka kenakalan remaja, melonjaknya jumlah anak jalanan atau preman, dan besarnya kemungkinan untuk terjadi berbagai kekerasan sosial yang senantiasa menghantui masyarakat kita. Bagi banyak orang, mendapatkan sebuah pekerjaan seperti mendapatkan harga diri.Kehilangan pekerjaan bisa dianggap kehilangan harga diri. Walaupun bukan pilihan semua orang, di zaman serba susah begini pengangguran dapat dianggap sebagai nasib. Seseorang bisa saja diputus hubungan kerja karena perusahaannya bangkrut. Padahal di masyarakat, jutaan penganggur juga antri menanti tenaganya dimanfaatkan. Besarnya jumlah pengangguran di Indonesia lambat-laun akan menimbulkan banyak masalah sosial yang nantinya akan menjadi suatu krisis sosial, karena banyak orang yang frustasi menghadapi nasibnya. Pengangguran yang terjadi tidak saja menimpa para pencari kerja yang baru lulus sekolah, melainkan juga menimpa orangtua yang kehilangan pekerjaan karena kantor dan pabriknya tutup. Indikator masalah sosial bisa dilihat dari begitu banyaknya anak-anak yang mulai turun ke jalan. Mereka menjadi pengamen, pedagang asongan maupun pelaku tindak kriminalitas. Mereka adalah generasi yang kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan maupun pembinaan yang baik. Salah satu faktor yang mengakibatkan tingginya angka pengangguran di negara kita adalah terlampau banyak tenaga kerja yang diarahkan ke sektor formal sehingga ketika mereka kehilangan pekerjaan di sektor formal, mereka kelabakan dan tidak bisa berusaha untuk menciptakan pekerjaan sendiri di sektor informal. Justru orang-orang yang kurang berpendidikan bisa melakukan inovasi menciptakan kerja, entah sebagai joki yang menumpang di mobil atau joki payung kalau hujan. Juga para pedagang kaki lima dan tukang becak, bahkan orang demo saja dibayar. Yang menjadi kekhawatiran adalah jika banyak para penganggur yang mencari jalan keluar dengan mencari nafkah yang tidak halal. Banyak dari mereka yang menjadi pencopet, penjaja seks, pencuri, preman, penjual narkoba, dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit mereka yang dibayar untuk berbuat rusuh atau anarkis demi kepentingan politik salah satu kelompok tertentu yang masih erat hubungannya dengan para pentolan Orba. Ada juga yang menyertakan diri menjadi anggota laskar jihad yang dikirim ke
Ambon dengan dalih membela agama. Padahal di sana mereka cuma jadi perusuh yang doyan menjarah, memperkosa, dan membunuh orang-orang Maluku yang tidak berdosa. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh pemerintah jika krisis sosial tidak ingin berlanjut terus. Masalah Pengangguran dan Pendidikan
Pengangguran intelektual di Indonesia cenderung terus meningkat dan semakin mendekati titik yang mengkhawatirkan. Diperkirakan angka pengangguran intelektual yang pada tahun 1995 mencapai 12,36 persen, pada tahun 1995 diperkirakan akan meningkat menjadi 18,55 persen, dan pada tahun 2003 meningkat lagi menjadi 24,5 persen. Pengangguran intelektual ini tidak terlepas dari persoalan dunia pendidikan yang tidak mampu menghasilkan tenaga kerja berkualitas sesuai tuntutan pasar kerja sehingga seringkali tenaga kerja terdidik kita kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Fenomena inilah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita dimana para tenaga kerja yang terdidik banyak yang menganggur walaupun mereka sebenarnya menyandang gelar. Meski ada kecenderungan pengangguran terdidik semakin meningkat namun upaya
tinggi tidak boleh berhenti. Akan tetapi pemerataan pendidikan itu harus dilakukan tanpa mengabaikan mutu pendidikan itu sendiri. Karena itu maka salah satu kelemahan dari sistem pendidikan kita adalah sulitnya memberikan pendidikan yang benar-benar dapat memupuk profesionalisme seseorang dalam berkarier atau bekerja. Saat ini pendidikan kita terlalu menekankan pada segi teori dan bukannya praktek. Pendidikan seringkali disampaikan dalam bentuk yang monoton sehingga membuat para siswa menjadi bosan. Di negara-negara maju, pendidikkan dalam wujud praktek lebih diberikan dalam porsi yang lebih besar. Di sanapun, cara pembelajaran dan pemberian pendidikkan diberikan dalam wujud yang lebih menarik dan kreatif. Di negara kita, saat ini ada kecenderungan bahwa para siswa hanya mempunyai kebiasaan menghafal saja untuk pelajaran-pelajaran yang menyangkut ilmu sosial, bahasa, dan sejarah atau menerima saja berbagai teori namun sayangnya para siswa tidak memiliki kemampuan untuk menggali wawasan pandangan yang lebih luas serta cerdas dalam memahamidan mengkaji suatu masalah. Sedangkan untuk ilmu pengetahuan alam para siswa cenderung hanya diberikan latihan soal-soal yang cenderung hanya melatih kecepatan dalam berpikir untuk menemukan jawaban dan bukannya mempertajam penalaran atau melatih kreativitas dalam berpikir. Contohnya seperti seseorang yang pandai dalam mengerjakan soal-soal matematika bukan karena kecerdikan dalam melakukan analisis terhadap soal atau kepandaian dalam membuat jalan perhitungan tetapi karena dia memang sudah hafal tipe soalnya. Seringkali seseorangpun hanya sekedar bisa mengerjakan soalnya dengan menggunakan rumus tetapi tidak tahu asal muasal rumus tersebut. Kenyataan inilah yang menyebabkan sumber daya manusia kita ketinggalan jauh dengan sumber daya manusia yang ada di negara-negara maju. Kita hanya pandai dalam teori tetapi gagal dalam praktek dan dalam profesionalisme pekerjaan tersebut. Rendahnya kualitas tenaga kerja terdidik kita juga adalah karena kita terlampau melihat pada gelar tanpa secara serius membenahi kualitas dari kemampuan di bidang yang kita tekuni. Sehingga karena hal inilah maka para tenaga kerja terdidik sulit bersaing dengan tenaga kerja asing dalam usaha untuk mencari pekerjaan. Jika kita melihat dari sudut pandang ekonomi, pengangguran tenaga kerja terdidik cenderung meningkat pada saat masyarakat mengalami proses modernisasi dan industrialisasi. Dalam proses perubahan itu terjadi pergeseran tenaga kerja antarsektor, yaitu dari sektor ekonomi subsistem ke sektor ekonomi renumeratif. Setelah kembali mapan, pengangguran akan cenderung rendah kembali. Proses industrialisasi tidak hanya terjadi pada suatu titik waktu akan tetapi merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Pergeseran ekonomi dalam proses industrialisasi tidak hanya berlangsung dari pertanian ke industri tetapi juga terus terjadi dari industri berteknologi rendah ke teknologi, dan selanjutnya menuju industri yang berbasis informasi dan intelektualitas. Pada tahap ini, lanjutnya, perubahan itu terus berlangsung dari waktu ke waktu yang mengakibatkan tenaga kerja harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan teknologi. Akibatnya pengangguran merupakan suatu kondisi normal di negara-negara maju yang teknologinya terus berubah. Masalah pengangguran terdidik di Indonesia, tuturnya, sudah mulai mencuat sejak sekitar tahun 1980-an saat Indonesia mulai memasuki era industri. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan investasi besar-besaran pada sektor-sektor yang berkaitan dengan kebutuhan dasar, seperti pertanian dan pendidikan dasar. Memasuki dasawarsa 1980-an, output pendidikan SD dalam jumlah besar telah mendorong pertumbuhan besar-besaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Namun masalah pendidikan menjadi dilematis, di satu sisi pendidikan dianggap sangat lambat mengubah struktur angkatan kerja terdidik karena angkatan kerja lulusan pendidikan tinggi baru 3,05 persen dari angkatan kerja nasional. Namun di sisi lain, pendidikan juga dipersalahkan karena mengeluarkan lulusan pendidikan tinggi yang terlalu banyak sehingga menjadi penganggur. Salah satu penyebab pengangguran di kalangan lulusan perguruan tinggi adalah karena kualitas pendidikan tinggi di Indonesia yang masih rendah. Akibatnya lulusan yang dihasilkanpun kualitasnya rendah sehingga tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pengangguran terdidik dapat saja dipandang sebagai rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan. Namun bila dilihat lebih jauh, dari sisi permintaan tenaga kerja, pengangguran terdidik dapat dipandang sebagai ketidakmampuan ekonomi dan pasar kerja dalam menyerap tenaga terdidik yang munculsecara bersamaan dalam jumlah yang terus berakumulasi. Masalah Pengangguran dan Inflasi Setelah dalam sepuluh tahun terakhir laju inflasi nasional mampu dipertahankan di bawah angka sepuluh persen, namun pada tahun 1997 laju inflasi akhirnya menembus angka dua digit, yaitu 11,05 persen. Laju inflasi tahun 1997 itu jauh lebih tinggi jika dibandingkan inflasi 1996 yang 6,47 persen. Hal itu terjadi, di samping karena kemarau panjang, antara lain juga akibat krisis moneter yang akhirnya melebar jadi krisis ekonomi. Inflasi bulan Desember 1997 saja tercatat 2,04 persen. Dengan angka inflasi 11,05 persen, sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki angka inflasi tertinggi di ASEAN, setidaknya dalam tiga tahun terakhir ini. Tingginya angka inflasi karena tidak seimbangnya antara permintaan dan penawaran barang dan jasa. Ini membuktikan tingginya laju inflasi di negara kita lebih banyak dipengaruhi sektor riil, bukan sektor moneter. Jika kita mengambil kesimpulan mengenai masalah inflasi di Indonesia bahwa ternyata laju inflasi tidak semata ditentukan faktor moneter, tapi juga faktor fisik. Ada empat faktor yang menentukan tingkat inflasi. Pertama, uang yang beredar baik uang tunai maupun giro. Kedua, perbandingan antara sektor moneter dan fisik barang yang tersedia. Ketiga, tingkat suku bunga bank juga ikut mempengaruhi laju inflasi. Suku bunga di Indonesia termasuk lebih tinggi dibandingkan negara di kawasan Asia. Keempat, tingkat inflasi ditentukan faktor fisik prasarana. Melonjaknya inflasipun karena dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menarik subisidi sehingga harga listrik dan BBM meningkat. Kenaikan BBM ini telah menggenjot tingkat inflasi bulan Juni 2001 menjadi 1,67 persen.
Dampak ini masih terasa sampai bulan Juli 2001 yang akan memberikan sumbangan inflasi antara 0,3-1 persen. Efek domino yang ditimbulkan pun masih menjadi pemicu kenaikan harga lainnya. Diperkirakan inflasi tahun ini
tembus dua digit. Kebijakan kenaikan harga BBM per 15 Juni 2001, menjadi pemicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya. Kenaikan BBM tersebut cukup memberatkan masyarakat lapisan bawah karena dapat menimbulkan multiplier effect, mendorong kenaikan harga jenis barang lainnya yang dalam proses produksi maupun distribusinya menggunakan BBM. Tingginya angka inflasi selanjutnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Untuk bisa bertahan pada tingkat daya beli seperti sebelumnya, para pekerja harus mendapatkan gaji paling tidak sebesar tingkat inflasi. Kalau tidak, rakyat tidak lagi mampu membeli barang-barang yang diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi tidak ada yang membeli maka akan banyak perusahaan yang berkurang keuntungannya. Jika keuntungan perusahaan berkurang maka perusahaan akan berusaha untuk mereduksi cost sebagai konsekuensi atas berkurangnya keuntungan perusahaan. Hal inilah yang akan mendorong perusahaan untuk mengurangi jumlah pekerja/buruhnya dengan mem-PHK para buruh. Salah satu dari jalan keluar dari krisis ini adalah menstabilkan rupiah. Membaiknya nilai tukar rupiah tidak hanya tergantung kepada money suplly dari IMF, tetapi juga investor asing (global investment society)mengalirkan modalnya masuk ke Indonesia (capital inflow). Karena hal inilah maka pengendalian laju inflasi adalah penting dalam rangka mengendalikan penangguran.
3. Masalah Sosial Pendidikan :
Dari satu siaran press Institut Pertanian Bogor (IPB) yang saya baca waktu itu, Profesor Maman Djauhari (dosen Mathematika, Intitut Teknologi Bandung) mengatakan dalam salah satu konferensi internasional di IPB bahwa dari sekitar 2500 perguruan tinggi di Indonesia hanya ada 8 perguruan tinggi yang memiliki Jurusan atau Departemen Statistika. Wouw, kurang dari satu persen. Mungkinkah ini salah satu penyebab lemahnya penelitian di Indonesia?
Sebenarnya apa sih yang terjadi, dan mengapa sampai jurusan statistika kurang diminati? Bagaimana dampak kekurangan minat pada bidang statistik ini dalam kehidupan masyarakat? Semua itu muncul dalam benak saya sehabis membaca informasi dalam siaran press itu.
Teringat pada waktu kuliah dulu, ada seorang mahasiswa yang tidak naik kelas di tahun kedua. Orang tua sang mahasiswa menulis surat ke Rektor IPB yang dibacakan oleh beliau di depan kelas. Surat itu pada dasarnya mempertanyakan mengenai anaknya. Katanya anak saya itu pandai, kenapa dia tidak naik kelas? Kan “Statistik kerjanya hanya menghitung angka, masak anak saya nggak mampu berhitung”. Masalah ini ditanggapi cukup serius waktu itu, karena untuk meluruskan pandangan orang tentang Statistik.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pelajaran Statistik adalah momok bagi mahasiswa. Tidak hanya di Indonesia di Amerika pun sama saja, sehingga banyak yang menghindar untuk mengambil matakuliah Statistik kalau memungkinkan. Hal ini bukan karena tingkat kesulitan dari mata pelajaran Statistik itu sendiri tetapi “image” yang berkembang sebelumnya sudah menakutkan. Pada waktu saya mengambil matakuliah Statistics Theory, waktu pelajaran kepala 4000 an (untuk Undergraduate Senior, dan Master) masih sekitar 15 orang per kelas mahasiswanya. Kelas 5000 an (untuk Master dan PhD) turun menjadi sekitar 10, dan kelas 6000 an (khusus untuk PhD) hanya tinggal 3 orang. Siapa yang mau mengambil kelas yang isinya hanya tiga orang, belum lagi kalau dosennya galak? Tentunya kelas ini diambil hanya karena diwajibkan. Untuk kelas-kelas Statistik Terapan jumlah mahasiswanya memang sangat bervariasi karena ada semacam keharusan bagi mahasiswa PhD Program di hampir semua jurusan untuk mengambil kelas Statistik Terapan. Kelas-kelas teori biasanya didominasi oleh mahasiswa yang berasal dari Asia. Terlihat sekali memang kalau orang-orang Amerika sendiri agak kurang berminat pada jurusan ini. Jangan tanya bagaimana saya bisa menarik inference seperti ini karena saya tidak bisa membuktikannya secara empirik.
Ilmu Statistik itu muncul sebenarnya karena kita semua punya keterbatasan. Keterbatasan dalam arti waktu, biaya, sumber daya manusia dll. Selain itu kalaupun kita tidak mempunyai keterbatasan dan bisa melakukan sensus, ada populasi tertentu yang hampir tidak mungkin kita hitung rata-ratanya. Contohnya, bagaimana kita menghitung rata-rata usia orang Indonesia secara tepat. Setiap menit ada yang lahir dan ada yang meninggal, setiap hari ada yang keluar dan ada yang masuk ke Indonesia, ada pula yang tidak mau dirinya dihitung dst. Jadi hampir tidak mungkin kita bisa menghitung rata-rata usia orang Indonesia secara tepat. Disinilah perlunya statistik. Istilah-istilah seperti sample, survey, standard error misalnya, semuanya memperlihatkan bagaimana dengan keterbatasan yang ada kita bisa melakukan inferenceinference yang tepat pula. Bagaimana memilih alat ini adalah suatu seni. yang mendekati kebenaran. Jadi kalau dilihat statistik adalah suatu alat yang kalau digunakan untuk situasi yang tepat akan menghasilkan
Mungkin ada contoh menarik yang sangat popular di sini, sewaktu ada mahasisiwa yang mau meneliti mengenai kebiasaan minum minuman keras dari kalangan mahasiswa secara umum. Mahasiswa tersebut lalu mengambil samplenya di pintu library kampus Community College di malam hari. Dia mengambil sample setiap orang yang keluar dari library pada malam itu. Hasilnya bisa di duga akan sangat bias karena sample yang diambil hanya dari pengunjung Community College Library, tidak memasukkan mahasiswa dari regular 4 years College. Karena penelitian dilakukan di malam hari, kemungkinan besar mahasiswanya berusia lebih tua dari rata-rata mahasiswa regular dan biasanya sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan yang paling penting secara umum mahasiswa yang ke library pada malam hari kecil kemungkinannya adalah juga peminum yang kuat. Jadi bisa diduga kesimpulan dari survey ini sangat bias karena sample yang diambil tidak representatif.
Kelemahan di bidang penelitian di Indonesia terlihat pada saat pemerintah ribut masalah penemuan padi yang sekali tanam bisa panen tiga kali. Biasanya setelah panen sawah dibersihkan, diolah lagi dan untuk musim tanam berikutnya ditanam bibit yang baru. Dalam hal padi yang di temukan ini setelah panen, sawah dibiarkan sehingga bibit baru tumbuh dari bekas panen sebelumnya. Tujuannya agar petani tidak perlu membeli bibit lagi. Sebelum di lempar ke masyarakat harusnya pemerintah tahu kalau sifat penelitian seperti itu adalah repeatable, dalam arti kalau diulang dalam kondisi yang sama akan mengeluarkan hasil yang sama. Ternyata setelah dipasarkan, ditanam oleh petani didaerah lain gagal menghasilkan hasil yang sama dengan yang dijanjikan. Terlihat bahwa pemerintah tidak terlalu perduli dengan statistik. Jika perduli tentunya sebelum benih dari padi ini dilempar ke masyarakat, mereka akan melakukan penelitian kembali dengan kondisi yang berbeda, lokasi yang berbeda dst. Dan apakah akan memberikan hasil yang sama? Untuk hal ini alangkah baiknya melibatkan orang yang mengetahui lebih dalam tentang experimental design sehingga designpenelitiannya lebih baik dan hasilnya lebih meyakinkan.
Banyak yang bisa dilakukan kalau kita familiar dengan statistik. Yang paling penting adalah kita bisa menjadi lebih berhati-hati kalau membaca kesimpulan dari suatu penelitian. Misalnya pada waktu UUP akan di undangkan, ada salah satu badan yang mengadakan jajak pendapat (maaf, lupa nama badannya). Kesimpulan yang di peroleh adalah sebagian besar masyarakat Indonesia menyetujui RUUP ini. Begitu membaca, pertanyaan yang muncul tentunya adalah bagaimana jajak pendapat (opinion polls) ini dilakukan. Lalu apakah sample yang diambil sudah representatif, lalu berapa besarsample-nya dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Coba misalnya kita ganti lokasi samplenya dengan sample yang berasal dari daerah Bali atau Papua, apakah kesimpulannya akan tetap sama? Terlihat bahwa betapa berbahayanya kalau salah menyimpulkan, dan kesimpulan itu digunakan untuk kebijaksanaan pemerintah. Contoh lain dalam bidang pemasaran yang pernah saya temui adalah ada perusahaan yang hampir bangkrut karena kesalahan dalam pengambilan keputusan. Hasil survey yang diperoleh perusahaan itu mengatakan kalau permintaan bahan bangunan tertentu sedang tinggi. Perusahaan tersebut lalu mengimpor bahan-bahan bangunan tersebut sebanyak-banyaknya, yang ternyata tidak laku terjual. Ternyata survey tersebut tidak validsehingga kesimpulannya salah.
Ini sekedar beberapa contoh, yang mengungkapkan minat dan pengamatan saya pada bidang kesukaan saya ini. Semakin saya mengutak-atik terutama aplikasinya, terasa Statistik semakin menarik. Mudah-mudahan suatu saat statistik tidak lagi merana karena selalu dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan, dan besar harapan saya, semoga pengambilan keputusan baik di perusahaan maupun pemerintahan akan semakin baik dengan penguasaan statistik yang memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar